Jakarta – Tasamuh artinya toleransi dalam ajaran Islam. Istilah ini penting untuk dipahami oleh kaum muslimin, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kata tasamuh sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu samaha. Secara bahasa, tasamuh dimaknai sebagai memberi dengan kemurahan hati seperti dijelaskan dalam buku Berislam Secara Moderat susunan Khoirul Anwar.
Baca Juga Berita Seputaran Masjid Nabawi Instagram
Baca juga:
Bagaimana Islam Memandang Sikap Toleransi Beragama?
Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita saling menghargai sesama, bahkan terhadap mereka yang menganut agama lain. Allah SWT tidak melarang hamba-Nya untuk bertoleransi, hanya saja jika menyangkut ibadah maka toleransi sangat dilarang.
Dalam surat Al Kafirun ayat 6, Allah SWT berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
Arab latin: Lakum dīnukum wa liya dīn
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku,”
Arti Tasamuh Menurut Kacamata Islam
Mengacu pada sumber yang sama, tasamuh secara istilah didefinisikan menjadi beberapa poin. Yang pertama yaitu menghormati pendirian yang berbeda.
Selain itu, tasamuh juga diartikan menerima perbedaan dan bersikap halus dalam berinteraksi dengan semua orang serta tidak membeda-bedakannya. Ulama Muhammad Abid al-Jabiri melalui kitab Qadaya fi al-Fikr al-Mu’asir menjelaskan toleransi dalam agama ialah tidak melampaui batas atau ekstrem di dalam beragama.
Kemudian, toleransi dalam beragam juga berarti menempuh jalan kemudahan dalam beragam yang artinya jalan terbaik. Toleransi juga menghormati hak minoritas pemeluk agama dalam menjalankan keyakinannya tanpa melakukan pembatasan atau penekanan kepadanya.
Al-Jabiri menilai, toleransi menjadi wujud penghargaan terhadap sejumlah praktik keagamaan dalam suatu agama, serta penghormatan banyak agama dalam masyarakat. Menurutnya, pluralitas yang ada menjadi bagian dari peradaban manusia yang tidak bisa dilenyapkan begitu saja.
Baca Juga Selengkapnya di Keutamaan Sholat Di Masjid Nabawi
Dengan demikian, tasamuh bukan berarti tidak peduli terhadap mereka yang berbeda keyakinannya, namun menghormati dan berperilaku adil sekaligus memberi hak serta kewajiban yang perlu diberikan. Dalam surat Al An’am ayat 108 dijelaskan juga bahwa sikap tasamuh bukan berarti menyerang atau mencela yang berujung menimbulkan sakit hati,
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Arab latin: Wa lā tasubbullażīna yad’ụna min dụnillāhi fa yasubbullāha ‘adwam bigairi ‘ilm, każālika zayyannā likulli ummatin ‘amalahum ṡumma ilā rabbihim marji’uhum fa yunabbi`uhum bimā kānụ ya’malụn
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan,”
Dampak Positif Penerapan Sikap Tasamuh
Harjan Syuhada dan Fida’ Abdillah dalam bukunya yang bertajuk Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah menjelaskan sejumlah dampak positif penerapan sikap tasamuh dalam kehidupan, yaitu:
Memuaskan batin orang lain karena dapat mengambil hak sebagaimana mestinya
Kepuasan batin mengeratkan hubungan persaudaraan
Eratnya hubungan baik dengan orang lain memperlancar terwujudnya kerjasama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat
Dapat memperluas kesempatan untuk memperoleh rezeki
Kisah Mengenai Toleransi Rasulullah terhadap Kaum Thaif
Menukil dari buku Menakar Kadar Toleransi: Majalah Tebuireng Edisi 80, terdapat sebuah kisah mengenai Rasulullah yang memiliki sikap toleransi terhadap kaum Thaif. Berikut kisahnya sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Imam Bukhari.
Bunda Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, pernahkan Anda mengalami hari yang lebih buruk dari perang Uhud?” Lalu Rasulullah SAW menjawab:
“Aku pernah menemui kaum yang sangat kejam yang belum pernah aku temui sebelumnya. Yaitu saat aku menemui suatu kaum kaum di kampung Aqabah (Thaif). Ketika itu, aku bermaksud menemui Ibnu Abi Yalil bin Abdi Kulal (untuk meminta bantuan dan untuk menyebarkan Islam).
Namun dia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pulang dalam keadaan wajah yang berdarah (karena perbuatan warga Thaif yang melempari batu).
Kutipan dari Detik.com